Selingkuh
Oleh : Emanuel Sudiyono
Cuaca pagi yang cerah kala itu menghangatkan sekujur tubuh ketika sang baskara mulai muncul di ufuk timur. Sampah-sampah berserakan dan butiran debu tebal menempel pada ventilasi jendela. Manggarai saat itu tengah dilanda kemarau panjang. Aku pun segera mengambil sapu lidi untuk membersihkan kotoran-kotoran di sekitar rumah. Tiba-tiba muncul teman baikku Tina. Dia seorang janda beranak dua, rumahnya tak begitu jauh dari rumahku, dia berada di RT 02. “Hai Adel kamu sibuk sekali !” tegurnya.
“Terlalu banyak sampah berserakan,” ujarku sambil mengelap keringat wajahku.“Mari silahkan masuk !” ajakku. Suasana kampung sudah mulai sepi karena orang-orang pada menuju ke ladang dan sawah mereka.
Di rumah, hanya ada aku dan Tina karena anakku yang sulung dan satu-satunya tengah asyik bermain bersama teman-temannya. Kami mulai berbincang-bincang untuk membuat sebuah arisan yang beranggotakan sepuluh orang dan aku meminta Tina untuk mendapat giliran pertama dalam arisan itu. Tina tak keberatan dengan tawaranku apalagi dia orangnya suka membantu. Guyonan aneh pun seringkali Tina selipkan di tengah seriusnya perbincangan karena memang dia orangnya senang sekali bercanda, dia juga tak pernah bosan-bosan mengejekku karena aku lama hidup jauh dengan suami tetapi aku juga tak mau diam, biasanya kubalas janda tak laku-laku. Semua perkataan itu sekadar bergurau untuk menghibur hati yang sudah lama diterjang kerinduan akan suami di tanah rantau. Tina memang sosok temanku yang paling baik tetapi dia sedikit nakal sebab seringkali dia menawarkanku untuk berkenalan dengan cowok-cowok kenalannya. Tetapi aku selalu membantahnya karena aku masih punya suami yang walaupun hidupnya jauh dariku tetapi aku sangat mencintainya. “Aku tak mau hidupku hancur gara-gara ini Tina.” Kataku setiap kali dia menawarkan untuk hal ini. Keseringan Tina membujukku akan hal buruk itu menjadikan aku enggan untuk menolaknya, dalam keadaan paksa aku menerima sebuah nomor handphone yang bernomor akhir 827, “Adel ini nomor cowok yang pernah kukenal, orangnya masih mudah dan ganteng, simpanlah nomor ini,” ujar Tina padaku. Aku pun menyimpan nomor itu.
Aku dan Suamiku kini sudah lima tahun menjaga janji suci pernikahan dan Tuhan telah mengaruniai kami satu buah hati yang kini dia sudah menginjak usia yang ke empat tahun. Suamiku bekerja sebagai buruh pabrik di Batam. Demi kebutuhan hidup keluarga, kami rela untuk hidup berpisah, bukan berarti berpisah dalam hal hubungan tetapi kami tetap saling percaya untuk menjaga keharmonisan keluarga.
Entah hal apa yang terlintas dalam benakku pada hari minggu itu seketika pulang sembayang dari gereja. Aku mengambil handphone yang kutaruh di atas regel dan pikiranku langsung tertuju pada nomor handphone yang pernah diberikan Tina padaku sehingga tanpa ragu aku mencoba untuk meneleponnya. Tak lama kemudian begitu nomornya terjawab, aku mendengar suara pria yang begitu lembut dan cakap di saat kami berbincang-bincang.“Pria ini pasti ganteng,” ujarku dalam hati. Dia memperkenalkan dirinya bernama Steven, berasal dari Manggarai Timur. Kami berbincang-bincang hingga tak terasa tiga jam lamanya dan saat itulah Steven mengungkapkan perasaan hatinya kepadaku. Tanpa ragu dan memikirkan suamiku tercinta dengan senang hati aku menerima Steven sebagai selingkuhanku. Kehadiran Steven dalam hidupku semua jadi berubah. Aku bahkan sampai lupa memberitahukan kabar kepada suamiku sampai seminggu lamanya tetapi suamiku tak pernah mencurigainya.
Hubunganku dengan Steven kini dilanda oleh kasmaran yang begitu menggelora bagaikan dua pasangan cinta yang baru mengenal gejolak. Hubungan kami juga hanya sebatas melalui telepon karena jarak yang membatasi kami untuk segera bertatapan langsung. Steven yang kini hadir membawa kehangatan baru dalam hidupku seakan hidup tak berarti bila aku melepaskannya kembali. Di dalam telephon pun Steven seringkali menyampaikan tekadnya untuk segera menikahiku padahal sebelumnya aku sudah jujur memberitahukannya bahwa aku sudah mempunyai anak. Apa yang aku katakan itu tidak menghalangi tekadnya bahkan dia berjanji akan membawaku lari ke tempat yang jauh. Aku mulai merenungkan kembali hasrat buruk ini tetapi perasaan yang sudah cair susah untuk membekukan kembali. Hubunganku dengan Steven pun tetap berlanjut. Cinta yang tumbuh dengan sejuta asmara sudah tak tahan lagi untuk berjumpa. Kami berdua sama-sama penasaran untuk melihat raut muka secara langsung. Sudah dua minggu lebih lamanya kami hanya ngobrol melalui telepon karena aku tidak ada waktu untuk kami bertemu. Sebenarnya di awal hubungan kami, aku ingin secepat mungkin untuk bertemu, namun disaat aku mau keluar dari kampung halaman, anakku ingin ikut juga karena dia tidak mau jauh dariku. Kemana pun aku pergi, dia selalu ikut. Aku khawatir bila anakku memberitahukan hal ini kepada keluarga dan juga kepada suamiku kalau aku kencan dengan pria lain.
Hari demi hari aku selalu berharap agar bisa bertemu dengan Steven pada suatu waktu. Sudah tak tahan rasanya untuk mendapatkan kejutan yang pernah Steven janjikan padaku di awal perjumpaan kami nanti. Bangun pagiku Sabtu itu seakan hembusan bunyi merdu membangunkan tidurku. Handphone berbunyi ternyata Steven yang menelepon, aku segera menjawabnya. Ternyata dia mengajakku untuk bertemu di Ruteng. Betapa bahagianya hatiku apalagi ini bertemu malam Minggu. “ini memang rencana yang tepat, terima kasih Steven” ujarku sembari meregangkan tubuh.
Jam pada hari itu sudah menunjukan pukul tiga sore, saatnya aku mandi dan mencoba mendandani wajahku yang sedikit kusam karena panas musim kemarau saat itu. Setelah semuanya beres, tiba-tiba anakku muncul dan berteriak minta nasi, aku segera menghampirinya, memberi dia uang lima ribu rupiah dan membujuk agar selesai makan langsung pergi beli jajan. Aku melihat anakku lari terbirit-birit menuju warung dan saat itu pula aku diam-diam keluar dari rumah bergegas mencari tukang ojek untuk mengantarku ke Ruteng. Steven berjanji untuk bertemu di warung padang yang berhadapan dengan terminal. Begitu aku sampai di Ruteng dan tiba di warung yang kami janjikan, aku melihat situasinya tidak begitu ramai dan aku segera mengambil tempat duduk di bagian luar warung. Begitu mataku menoleh ke dalam warung aku hanya melihat dua pasangan suami-istri yang sedang makan dan ada satu pria yang tengah sibuk memencet handphonenya. Dalam benakku berpikir pria itu pasti Steven, sehingga aku mencoba tuk miscall nomor Steven dan aku melihat cowok itu mengangkat telepon. Jantungku sudah mulai berdetak,”ini pasti Steven,” kataku dalam hati.
Pria itu menoleh ke arahku dan melemparkan senyumannya yang manis kemudian menghampiriku. Mataku tak karuan melihat kesana kemari menyebabkan pria itu bertanya padaku. “sedang mencari siapa, Enu ?” ujarnya. “Aku lagi menunggu seseorang,” jawabku singkat. Pria itu menyodorkan tangannya dan berkata, “aku Steven”. Aku pun kaget dan merasa amat senang sekali. Ternyata aku tidak salah menyangka dengan pria yang hidung mancung ini. “aku Adel,” kataku. Dia memberiku setangkai bunga mawar yang sudah dikemas rapi dan memelukku dengan kecupan mesra sebagai janji atas kejutannya.
Kami berbincang-bincang hingga tengah malam di warung padang itu. Dinginnya kota Ruteng menjadikan hangat seketika dan menjadi saksi pertemuan kami malam itu. Suasana pun semakin bertambah sepih sehingga aku meminta Steven untuk mengantarku pulang. Setibanya di di rumah, aku tidak mengijinkan Steven untuk menginap di rumahku karena takut ketahuan oleh keluarga dan ibu mertuaku sehingga aku menyuruh dia supaya langsung pulang. Di luar rumah aku mendengar anakku sedang merengek mencariku. Perlahan aku membuka pintu dan tiba-tiba ibu mertuaku bertanya dengan nada keras, “dari mana saja kamu Adel ?” Anakmu ini dari tadi menangis mencarimu. “Aku datang dari rumah Tina, dia meminta bantuanku untuk menyelesaikan tenunannya sehingga aku tidak cepat pulang,” jawabku membohongi mertuaku. “Lain kali kamu jangan seperti ini apalagi sampai pulang larut malam,”ujar ibu mertuaku dan aku hanya mengiakannya.
Keesokan hari Steven pagi-pagi datang ke rumahku. Dia datang dengan berupa-pura jadi pedagang yang mencari kain songket Manggarai sehingga ibu mertuaku tidak mencurigai kehadirannya. Aku menyambutnya dengan senang hati. Namun karena Steven sering mendatangi keluargaku, mereka menjadi curiga apalagi dia sering datang pada malam hari. Suatu malam ketika aku dengan Steven sedang berduaan dalam kamar, tiba-tiba ibu mertuaku menghampiri kami berdua. Dia berteriak memangil semua anggota keluarga dan tetangga yang ada di sekitar. Yang lain merangkul Steven dan yang lain juga merangkul aku. Kami berdua dibawahkan ke rumah ketua adat, dan disana kami diproseskan secara adat karena telah merusak keluarga dan lingkungan di sekitar kami. Sejak saat itu juga suamiku yang ada di Batam mengetahui hal ini karena ada keluarga yang memberitahu. Mendengar kejadian ini dia menjadi marah dan keluargaku memberikan kami kesempatan untuk berbicara lewat telepon. Suamiku berkata “Adel kamu sungguh-sungguh keterlaluan melakukan semua ini, dari awal kamu berjanji waktu aku datang ke Batam bahwa kamu akan menjaga diri baik-baik tapi nyatanya tidak dan mulai saat ini kamu bukan lagi menjadi istriku, silahkan kamu pergi dengan pria yang kamu sayangi itu.”
Aku pun menangis dan menyesal atas apa yang telah kuperbuat. Kini aku telah melanggar janji, kini aku dianggap najis dihadapan keluarga, dan ibu yang tidak bertanggungjawab atas keluarga. “Suamiku maafkan aku, ini kekeliruanku, tolong terimalah aku kembali, aku mau hidup kita kembali seperti dulu.” Ujarku dalam telepon dengan suamiku. Aku mendengar suamiku mengela nafas dan lagi dia berkata, “baiklah, kalau memang kamu masih menyayangiku, aku berjanji kalau kamu akan mengulangi kembali perbuatan ini, aku tidak akan segan lagi untuk membunuhmu dan kamu masih aku terima sebagi istriku. Seminggu kemudian suamiku pulang dari Batam. Pada waktu kedatangannya di depan rumah aku bersimpuh memohon ampun dihadapannya. Air mata suamiku membendung seketika, dia memeluk diriku dengan erat dan mulai saat itulah kami menyatu kembali.***
Enu : sapaan untuk gadis Manggarai
Komentar
Posting Komentar